Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hukum perceraian dalam adat Dayak Tarangk serta implikasinya terhadap praksis pastoral perkawinan di Keuskupan Sanggau, dalam terang Kitab Hukum Kanonik, khususnya kanon 1055. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara. Fokus kajian meliputi pemahaman mengenai konsep perkawinan dalam adat Dayak Tarangk, struktur dan penyebab perceraian dalam sistem hukum adat tersebut, serta strategi pastoral yang dilakukan oleh Keuskupan Sanggau dalam menanggapi fenomena ini. Perkawinan dalam adat Dayak Tarangk dipahami sebagai ikatan sah antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk kehidupan bersama dalam relasi suami-istri yang menjunjung tinggi nilai kesetiaan dan keutuhan keluarga. Walaupun perceraian dapat dilaksanakan dalam hukum adat, praktik poligami secara tegas ditolak karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai luhur kehidupan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa ada kesamaan konsep perkawinan antara perkawinan adat Dayak Tarangk dan ajaran Gereja Katolik mengenai satu dan tak terceraikan perkawinan. Berkaitan dengan konteks pastoral, Keuskupan Sanggau melakukan beberapa program dalam menanggapi fenomena perceraian adat Dayak, seperti Kursus Persiapan Perkawinan (KPP), pendampingan keluarga melalui program Tendopoli Keluarga, serta penyelenggaraan retret dan rekoleksi rohani bagi pasangan suami-istri. Keuskupan Sanggau juga mengatur pelaksanaan atau prosesi ritual perkawinan adat setelah penerimaan sakramen perkawinan Katolik, dengan tetap menegaskan komitmen kesetiaan melalui pemberlakuan sanksi adat. Melalui dialog konstruktif dengan para pemangku adat, Keuskupan berusaha untuk menjembatani ajaran Gereja dengan kearifan lokal dengan maksud agar menjaga integritas sakramen perkawinan di tengah realitas sosial-budaya masyarakat Dayak Tarangk.