Skripsi ini mengkaji krisis panggilan yang dialami Nabi Elia dalam perikop 1 Raja-raja 19:9-18 serta relevansinya bagi kehidupan calon imam dan partisipasi umat dalam Gereja masa kini. Elia adalah seorang nabi besar yang mengalami keputusasaan mendalam setelah kemenangan di Gunung Karmel. Keputusasaan membawanya melarikan diri ke Gunung Horeb. Di sana, perjumpaannya dengan Tuhan tidak terjadi melalui manifestasi dahsyat seperti angin, gempa, atau api, melainkan melalui 'suara embusan yang lembut'. Momen ini menjadi titik balik yang memulihkan dan meneguhkan kembali panggilannya. Penelitian ini menggunakan metode eksegesis dengan pendekatan analisis konteks, bahasa, dan narasi untuk menggali makna teologis dari teks. Hasil analisis menunjukkan bahwa perikop ini berfungsi sebagai titik balik eksistensial bagi Elia, di mana ia dimurnikan dari keputusasaan dan diutus kembali dengan misi baru. Krisis yang dialami Elia memperlihatkan sisi manusiawinya yang rapuh, sementara respons Tuhan menunjukkan bahwa Ia hadir secara personal, memulihkan, dan memperbarui panggilan hamba-Nya justru di tengah kerapuhan. Refleksi teologis dari kisah ini menegaskan tiga hal utama. Pertama, Allah hadir dalam cara yang bahkan tidak terduga. Kedua, Allah mengenal dan memanggil manusia secara personal. Ketiga, Allah tidak hanya memulihkan, tetapi juga memperbarui dan mengutus kembali hamba-Nya untuk melanjutkan karya-Nya. Kisah Elia ini memberikan refleksi yang relevan bagi para calon imam dalam menghadapi kelelahan rohani (burnout) dan krisis identitas, serta menjadi teladan bagi umat beriman untuk menemukan kekuatan dalam keheningan doa di tengah tantangan hidup menggereja.