Bunuh diri di kalangan Generasi Z bukan lagi sekadar angka statistik, melainkan jeritan sunyi dari anak-anak muda yang merasa kehilangan makna hidup. Di tengah dunia yang serba cepat dan terkoneksi, banyak dari mereka justru merasa sendirian, hampa, dan tidak memiliki ruang aman untuk bercerita. Dalam banyak kasus, surat terakhir yang ditinggalkan mengungkapkan rasa bersalah, ketidakdimengertian, dan luka relasi, terutama dalam keluarga. Penelitian ini mencoba memahami fenomena tersebut melalui lensa filsafat eksistensial, khususnya pemikiran Rollo May tentang makna hidup manusia. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan studi pustaka dan analisis fenomenologis-hermeneutik. Penelitian menelaah karya-karya Rollo May dan literatur pendukung tentang eksistensialisme, serta data sekunder dari kasus-kasus nyata di kalangan Generasi Z. Fokus analisis berada pada pengalaman kesepian, kecemasan, kehilangan cinta, dan lemahnya kehendak untuk hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep 'manusia hampa' dari Rollo May sangat beresonansi dengan kondisi batin anak muda saat ini. Ketika cinta tidak lagi mengakar dan kehendak melemah, hidup terasa tanpa arah. Bunuh diri muncul bukan sebagai keinginan mati, melainkan sebagai bentuk keputusasaan karena tidak menemukan alasan untuk tetap hidup. Di sinilah keluarga dan komunitas memiliki peran krusial untuk menjadi ruang relasi yang sungguh hadir, memahami, dan menghidupkan kembali harapan.