Record Detail
Advanced SearchText
Perkawinan Patrilineal Suku Lio Mego-Tanawawo dalam Terang Pemikiran Claude Levi-Strauss
Tulisan ini berbicara mengenai praktik perkawinan patrilineal dalam Suku Lio sekaligus berbicara mengenai pandangan Levi-Strauss mengenai perkawinan, dampak perkawinan maupun larangan-larangan dalam perkawinan. Perkawinan itu sendiri memiliki tujuan yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pandangan masyarakat Suku Lio mengenai perkawinan adat yakni bahwa perkawinan itu selain memiliki tujuan untuk membentuk keluarga juga memiliki tujuan lain yaitu membangun, membina, dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai yang tercipta dari perkawinan itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Levi-Strauss bahwa perkawinan menciptakan relasi dalam struktur kekerabatan. Levi-Strauss memiliki pandangan tersendiri tentang perkawinan patrilineal seperti yang diterapkan dalam sistem perkawinan adat Suku Lio, Mego-Tanawawo. Menurutnya, terbentuknya kekeluargaan atau kekerabatan baru adalah melalui perkawinan dalam proses tukar-menukar wanita. Selain itu, dalam perkawinan dapat membangun relasi kekeluargaan dengan komunitas atau suku lain. Levi-Strauss menekankan pentingnya tukar-menukar wanita demi menghindari perkawinan sedarah atau insest. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Suku Lio, praktik perkawinan sedarah yaitu perkawinan sepupu kandung (ana eda) masih kerap terjadi. Dengan demikian, manusia Suku Lio 'diwajibkan' mencari jodoh (istri/suami) di luar lingkungan kekerabatan, golongan sosial dan sukunya atau yang disebut dengan perkawinan eksogami. Pertukaran wanita bukan berarti adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan, melainkan demi menciptakan relasi kekerabatab yang baru dengan kelompok lain dan demi menghindari perkawinan sedarah. Penekanan perkawinan patrilineal memberi dampak terhadap kedudukan anak perempuan maupun terhadap sistem pembagian ahli warisan. Kedudukan anak perempuan dalam keluarga dan lingkungan sosial memang berada pada tingkat kedua jika dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi, seiring dengan adanya perkembangan dalam dunia pendidikan memberi dampak pada wawasan manusia Suku Lio bahwa manusia itu memiliki martabat, hak dan kewajiban yang sama. Dari sebab itu, kaum perempuan dalam Suku Lio pun tetap diperhatikan dan memiliki kedudukan yang sama. Mereka juga mendapatkan pendidikan. Hal yang sama juga berlaku dalam pembagian ahli waris. Kaum perempuan (anak perempuan) tetap memperoleh hak yang sama atas warisan-warisan tersebut karena masih bagian dari kekerabatan ayahnya. Namun, jika ia sudah menikah, maka hak atas warisan didapati dengan dua cara yaitu dengan cara dihibahkan oleh orang tua ataupun oleh saudara laki-laki dan melalui surat wasiat. Sehingga berdasarkan hukum adat dia memiliki hak penuh atas harta warisan. Dalam kasus lain yakni bagi anak tunggal (perempuan tunggal), maka dia berhak penuh atas seluruh harta warisan.
Availability
| 17.050 | 392.5 Nga p | Perpustakaan STFT | Available |
Detail Information
| Series Title |
-
|
|---|---|
| Call Number |
392.5 Nga p
|
| Publisher | STFT Widya Sasana : Malang., 2021 |
| Collation |
x + 90hlm: 22x28cm
|
| Language |
Indonesia
|
| ISBN/ISSN |
-
|
| Classification |
392.5
|
| Content Type |
-
|
| Media Type |
-
|
|---|---|
| Carrier Type |
-
|
| Edition |
-
|
| Subject(s) | |
| Specific Detail Info |
-
|
| Statement of Responsibility |
-
|
Other version/related
No other version available






