Manggarai dikenal dengan budaya patriarkal. Budaya patriarkal menomorduakan kaum perempuan dalam kehidupan sosial. Kultur yang tidak adil ini sangat memengaruhi relasi antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan dipandang sebagai objek, sedangkan laki-laki diakui sebagai subjek. Relasi antara laki-laki dengan perempuan dikenal dengan relasi antara subjek dengan objek. Perempuan kerap mengalami ketakberdayaan akibat tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Di tengah realitas ketidakadilan ini, penulis memilih tokoh Luce Irigaray sebagai sumber inspirasi untuk mereinterpretasikan budaya tersebut. Pemikiran Irigaray lebih mengedepankan relasi antar-subjek antara laki-laki dengan perempuan. Subjektivitas perempuan diakui oleh laki-laki. Perbedaan jenis kelamin bukan untuk menunjukkan diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan. Namun perbedaan jenis kelamin menjadi titik tolak kesadaran laki-laki dan perempuan untuk tidak terjebak dalam fanatisme budaya patriarkal. Gerakan pembebasan terhadap perempuan bertitiktolak dari cinta kasih. Kesadaran mengenai cinta kasih mendorong orang Manggarai mereinterpretasikan budaya patriarkal. Cinta kasih melampaui fanatisme budaya patriarkal Manggarai. Relasi cinta antara laki-laki dengan perempuan merupakan anugerah Tuhan karena kebaikan-Nya kepada manusia. Jika demikian, hukum yang menekankan perbedaan jenis kelamin menjadi sesuatu yang diutamakan dalam relasi laki-laki dengan perempuan. Relasi cinta itu berlangsung secara abadi. Cinta kasih adalah keutamaan yang harus diwujudkan dalam realitas kultur dan budaya Manggarai. Keutamaan cinta yang sifatnya abadi merupakan titik tolak untuk mengedepankan relasi subjektif antara laki-laki dengan perempuan dalam budaya patriarkal. Dengan demikian, perempuan dapat mengembalikan apa yang menjadi haknya. Perempuan dapat berperan dan menemukan identitas dirinya dalam ruang publik.