Selama tiga hari, Jakarta bagaikan berubah menjadi kota tidak bertuan. Aparat kepolisian, yang sejak awal sudah diisukan dan malahan dituduh sebagai pembunuh mahasiswa, tidak banyak kelihatan. Bagaimana jadinya Jakarta kalau tak ada ABRI yang menjaganya? Senin pagi tanggal 18 Mei, Presiden Soeharto dengan santai berada dirumah sekaligus kantornya di jalan Cendana, Jakarta Pusat. Meskipun kantor resminya Bina Graha, Soeharto tidak selalu datang ke gedung yang terletak di samping istana Kepresidenan ini, bangunan yang dulu dibuatkan oleh Pertamina, semasa kejayaan Ibnu Sutowo ketika memimpin perusahaan minyak tersebut sekitar tahun 70-an. Sejak kesehatannya mulai terganggu pada akhir tahun 1997, Soeharto lebih senang menerima tamu-tamunya di Cendana. Seperti juga pada awal minggu terakhir, sambil menghisap cerutu kesukaannya. Hari-hari terakhir masa kekuasaan Presiden Soeharto adalah bagaikan kesadaran setiap orang tua, menemukan kenyataan hidup bahwa dirinya sudah semakin sepuh dan ditinggalkan sendirian oleh para rekan serta sahabatnya. Ia bagaikan prajurit yang mulai kehabisan peluru sementara pertempuran masih juga belum selesai. Habibie pasti tidak pernah membayangkan dirinya bakal menjadi Presiden Indonesia dalam tempo secepat itu. Ketika awal Maret 1998 dia dilantik menjadi wakil Presiden, tentu saja Habibie merasa bahwa dirinya suatu hari kelak bakal punya peluang lebih besar dibanding 200 juta orang Indonesia lainnya, untuk bisa menggantikan kedudukan Soeharto. Tetapi, andaikan keinginan tersebut memang ada, pasti dia sendiri juga merasa, itu semua hanya mungkin terjadi nanti pada tahun 2003, ketika masa jabatan Soeharto yang ketujuh kalinya sebagai presiden Indonesia akan selesai.