Tesis ini mengevaluasi peran pembinaan Pria Sejati Katolik (Priskat) di Keuskupan Malang terhadap keluarga-keluarga Katolik dalam membentuk persekutuan pribadi-pribadi. Pembinaan Priskat yang dimaksud meliputi tahap camp selama tiga hari dan after camp. Penulis meneliti bagaimana gerakan ini membangun seisi keluarga melalui pembinaan terhadap para suami dan apakah keluarga yang telah dibangun itu mampu menghayati persekutuan sebagaimana dikehendi Gereja. Tugas membentuk persekutuan pribadi-pribadi merupakan tanggung jawab keluarga yang amat mendasar karena persekutuan adalah roh setiap keluarga. Anjuran Apostolik Familiaris Consortio art 19 menyatakan bahwa persekutuan yang pertama terbentuk sejak suami istri saling menerimakan Sakramen Pernikahan. Persekutuan suami istri itu kemudian meluas seiring dengan kelahiran anak dan bertambahnya pribadi-pribadi yang hidup dan tinggal bersama mereka. Kualitas persekutuan pribadi-pribadi itu sendiri tercermin dari terpenuhinya kondisi-kondisi yang dituntut masing-masing anggota keluarga. Kondisi-kondisi tersebut dapat dipetakan ke dalam empat poin sebagai berikut: (1) martabat, hak dan peran wanita; (2) peran pria sebagai suami dan ayah; (3) martabat dan hak anak; (4) hormat dan cinta kasih terhadap lansia. Priskat adalah gerakan yang memfokuskan diri terhadap pembinaan kaum pria; khususnya para suami dalam keluarga. Priskat sendiri terbilang unik dan baru di Keuskupan Malang. Dari berbagai pengalaman keluarga akan pembinaan Priskat, penulis dapat melihat bagaimana pembinaan Priskat membantu keluarga dalam melaksanakan tugasnya membentuk persekutuan pribadi-pribadi. Penulis melihat tiga keunggulan Priskat berkaitan dengan ini. Pertama Priskat membina pria menjadi pemimpin yang melayani. Kedua Priskat menjadikan keluarga sebagai gelanggang bina kemanusiaan. Ketiga Priskat membentuk keluarga yang berdoa.