Pada zaman modern ini banyak kemajuan telah dicapai oleh manusia untuk menunjang kebutuhan hidupnya yang memberikan kebahagiaan. Namun, di tengah kemajuan tersebut muncul pula berbagai macam persoalan yang membuat manusia merasa cemas dan takut sehingga mengalami penderitaan. Setiap hari media massa menyajikan macam-macam persoalan dalam masyarakat. Kelaparan, pembunuhan, penindasan, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta menjamin kebahagiaan. Penderitaan kerapkali menjadi momok yang menakutkan sehingga banyak orang mau melarikan diri daripadanya. Mereka tidak menyadari bahwa penderitaan itu memiliki makna yang luhur apabila dihadapi dengan sabar. Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus dijadikan teladan bagi umat beriman dewasa ini dalam menghadapi penderitaan. Ia melewati hidupnya dengan banyak macam penderitaan, baik fisik maupun batin. Ia mengalaminya baik sebelum masuk biara maupun setelah hidup membiara. Meskipun demikian, ia bersikap pasrah, rendah hati dan penyangkalan diri ketika menghadapi penderitaan tersebut. Hal ini dilakukannya demi cinta kepada Yesus, diri sendiri dan sesama. Cinta membuat Teresia rela menderita, sabar terhadap sesama, menerima orang lain apa adanya. Bahkan, cinta mendorong Teresia untuk mewartakan Yesus ke seluruh dunia dengan menjadi misionaris sehingga banyak orang mengenal dan mencintainya. Namun, hal ini tidak tercapai karena ia memilih menjadi rubiah Karmel yang berpola kontemplatif klusura. Namun ia mewujudkan keinginan menjadi misionaris melalui cara lain, yaitu perbuatan, kasih, doa, kurban dan penderitaan.