Hidup adalah sebuah peziarahan dan manusia adalah ia yang sedang berziarah. Hidup sebagai peziarahan pertama-tama mengisyarat bahwa hidup ini harus dijalani dengan bijaksana, mendalam dan bermakna. Sebagai peziarah, manusia hendaknya menuju kesempurnaan dan 'menjadi' sempurna. Kesempurnaan di sini berarti memiliki keterarahan kepada Tuhan Sang Sumber Kesempurnaan itu sendiri. Betapa menyedihkan bahwa saat ini banyak orang terutama generasi muda, tidak tahu bagaimana menjalani hidup secara mendalam dan bermakna. Orang jatuh kepada hal-hal artifisial. Hal-hal spiritual ditinggalkan. Manusia tidak hidup dari kedalaman diri. Ia lupa akan panggilannya menjadi makhluk rohani. Keheningan, doa dan latihan rohani menjadi seperti barang usang yang harus ditinggalkan. Candi Borobudur mengajar manusia bagaimana sebuah peziarahan hidup menuju kesempurnaan harus dilakukan. Borobudur yang merupakan maharya leluhur bangsa mengajarkan manusia bagaimana menjadi bijak. Pendakian di Borobudur mengingatkan manusia akan proses-proses atau tingkatan-tingkatan yang harus dilalui menuju kesempurnaan. Jalan yang ditempuh adalah jalan keheningan. Dalam keheningan peziarah merenungkan aneka kisah-kisah keutamaan hidup dalam relief-relief. Stupa puncak yang menjadi tujuan peziarahan mengingatkan manusia bahwa kesempurnaan dicapai melalui persekutuan dengan Tuhan Sang Kesempurnaan. Benedict Canfield seorang teolog-mistikus Katolik juga mengajarkan manusia bagaimana menjadi makhluk rohani. Dalam tesis ini penulis akan menguraikan studi komparasi konsep kesempurnaan Buddhisme dengan konsep kesempurnaan kristiani Benedict Canfield. Titik temu keduanya akan memberi kontribusi tersendiri bagi siapa saja yang ingin mendalami hidup sebagai sebuah peziarahan menuju kesempurnaan.