Perkembangan bahasa sebagai sebuah diskursus filosofis melewati rentang sejarah yang panjang. Para filsuf menaruh minat secara intensif mengingat fungsi integral bahasa dalam hidup manusia. Setelah revolusi filsafat analitik dengan berbagai rumpun teorinya, para pakar linguistik kontemporer mengkaitkan bahasa dengan fungsi sosial, psikologis, dan politis. Artinya, bahasa tidak dipahami sebagai alat komunikasi semata. Bahasa dikaitkan dengan praktik kekuasaan, kekuatan, hegemoni dan lain sebagainya. Bahasa menjadi instrumen dalam pertarungan untuk meraih kepentingan dan dominasi kekuasaan. Interpretasi kritis atas pergeseran fungsi bahasa sebagai sebuah instrumen kekuasaan ini secara tegas dikaji oleh Pierre Bourdieu. Ia memberikan suatu pendekatan yang inovatif terhadap bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan simbolis. Bagi Bourdieu, bahasa merupakan instrumen praktik dan kekuasaan (Language is an instrument of Action and Power). Tak diragukan lagi, konsep bahasa dan kekuasaan simbolik menunjukkan watak politik sosiologis Bourdieu. Pertama, bahasa sebagai praktik sosial. Sebagai sebuah praktik sosial, bahasa menjadi bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial dan digunakan sebagai sarana tercapainya tujuan-tujuan praktis. Kedua, Bourdieu mengklasifikasi bahasa sebagai sebuah kapital budaya. Bahasa sebagai salah satu kapital budaya memberikan banyak keuntungan (kapital simbolik). Ketiga, bahasa (wacana) sebagai fakta ekonomi. Bourdieu merumuskan bahwa pertukaran linguistik juga merupakan pertukaran ekonomik antara seorang produser yang diberkahi modal linguistik dengan seorang konsumen. Gagasan Bourdieu di atas memberikan kita pemahaman tentang relasi bahasa dan kekuasaan simbolis. Kekuasaan simbolis sangat efektif dijalankan melalui bahasa. Bahasa tidak pernah luput dari kepentingan. Dengan demikian, konsep bahasa dan kekuasaan simbolis Bourdieu sangat relevan untuk menelaah fenomena dominasi wacana politik, ekonomi, budaya dunia dewasa ini.