Aku pun mulai percaya sajak-sajakmu menumpahkan diri lewat tanganmu. Seakan kau cuma perantara yang, setengah sekarat atau setengah kesurupan, mengurbankan diri untuk jadi tempat lahir lambang-lambang. Kau yang menunda Hari Kiamat, agar aku, kita, mereka, beroleh puisi yang lebih besar ketimbang kabar, lebih adil ketimbang ilmu, dan lebih gila ketimbang takluk. Aku belajar menerima lambang-lambangmu yang berjejalan, berlelehan, kepaduan, dan kejerrnihan bukan milik Mahasukka. Sedangkan yang tertata rapi hanyalah milik mereka yang tak berani beranjak dari suka, mereka yang takut berpusingan pada palung menggelak.