Ekaristi merupakan sumber dan puncak dari seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja. Di dalam Ekaristi, Kristus hadir dan memberikan Diri-Nya sebagai makanan rohani Gereja. Dia hadir untuk bersatu dengan Gereja, Tubuh Mistik-Nya serta selalu menemani Gereja dalam tugas perutusannya. Akan tetapi sangat disayangkan karena umat beriman mulai tidak tertarik dengan perayaan Ekaristi. Mereka melihat Ekaristi sebagai perayaan yang kurang menarik, kering, dan terasa membosankan, karena itu, umat beriman kemudian mencari pemuas dahaga rohani mereka dengan jajan di luar Gereja. Mereka lebih senang mengikuti perayaan ibadat di gereja lain yang lebih menarik dan bersemangat. Fenomena ini mengusik ketenangan Gereja. Gereja mulai mengambil sikap serius untuk menghadapi persoalan tersebut. Berbagai cara ditempuh oleh Gereja, seperti seminar mengena Ekaristi, sarasehan, bahkan kongres Ekaristi di berbagai tingkat. Pemandangan yang sering terlihat adalah perayaan Ekaristi dengan tema inkulturatif. Meskipun umat mulai merasa tersapa dengan cara ini, namun hal tersebut bukanlah tanpa persoalan. Muncul ketegangan yang baru. Para ahli liturgi kemudian menjadi khawatir akan pelaksanaan yang keliru dari inkulturasi dalam liturgi sehingga mengaburkan nilai-nilai teologis yang terkandung dalam liturgi Gereja. Yohanes Paulus II menguraikan dengan begitu indah tentang hubungan antara Ekaristi dan Gereja dalam ensikliknya Ecclesia de Eucharistia. Satu hal menarik yang perlu disimak adalah uraiannya tentang Maria sebagai Wanita Ekaristi di bagian terakhir ensiklik ini. Dia mengatakan bahwa Maria adalah tokoh yang tidak pernah boleh absen ketika kita berusaha menyelami kedalaman kekayaan Ekaristi. Maria adalah ibu dan sahabat yang selalu mendampingi peziarahan iman semua orang. Berkaitan dengan penghayatan Ekaristi, Yohanes Paulus II menyebut Maria sebagai Wanita Ekaristi. Seluruh hidupnya menjadi kontemplasi atas seluruh misteri hidup Kristus. Dia menyimpan semua perkara tentang Yesus dalam hatinya dan selalu merenungkannya.