Dunia sastra kian menggelisahkan. Begitulah kira-kira keresahan penulis yang tertuang dalam buku ini, adalah fakta bahwa kesusastraan Indonesia saat ini tak hingar bingar seperti ketika zamannya H.B. Jassin di tahun 1966-an, atau bahkan kalau tenar dengan Angkatan 45 ke atas sebagaimana dipelopori Chairil Anwar. Kalau periode 60-an saja telah melahirkan sosok H.B. Jassin sebagai Bapak Sastra Indonesia, maka pasca kemangkatannya (bahkan mungkin hingga saat ini) tak ada lagi sosok yang berkonsentrasi secara penuh untuk mengawal kesusastraan kita. Bagaimana akan lahir sosok 'begawan sastra' yang agung kalau tradisi kritik sastra saja mandul? Tak heran kalau kesusastraan Indonesia akhirnya menjadi sunyi-sepi dan bisu. Tak lagi mampu melahirkan pujangga besar seperti masa-masa sebelumnya. Buku ini disamping mengajak semua pihak untuk kembali menziarahi kejayaan dunia sastra di masa lampau tapi juga ingin menggugah kesadaran kritis para sastrawan yang mulai mengarah pada liang kematiannya.