Di dunia ini tidak ada yang pasti, tapi mati itu suatu kepastian, yakin mau pun tidak, semua yang bernyawa akan menuju kesana. Demikianlah bunyi sebuah pepatah dari negeri Cina. Kematian menjadi sebuah misteri yang tak terselami oleh akal budi manusia, sebab kapan pun dan bagaimana pun caranya, semua manusia akan mengalami kematian. Pernyataan di atas secara tidak langsung hendak mengiyakan pernyataan Martin Heidegger bahwa manusia ada untuk mati. Dengan kata lain, kematian adalah kodrat asali manusia. Maka, lewat cara apa pun, ketika waktunya tiba tak ada satu pun makhluk di alam semesta ini dapat menyangkal bahwa dirinya akan berhenti pada titik eksistensialnya, yakni kematian. Tak dapat dipungkiri bahwa kematian telah menjadi pintu masuk bagi tradisi untuk menghormati atau mendoakan arwah. Namun dalam hal ini, terjadi suatu persoalan yang sangat serius terutama bagi orang-orang Tionghoa Katolik. Bagi orang-orang Tionghoa Katolik, menjalankan tradisi sembahyang arwah menurut kebudayaannya merupakan suatu kewajiban yang tak dapat dilanggar. Namun di sisi lain, praktik-praktik yang mereka jalankan tidak selalu berjalan sesuai dengan anjuran dan tradisi Gereja Katolik. Dalam hal ini, usaha yang dapat dilakukan ialah lewat pengupayaan adaptasi kebudayaan atau tradisi masyarakat Tionghoa ke dalam Liturgi Gereja Katolik. Dengan demikian, kiranya umat Katolik Tionghoa dapat menjalankan budaya dan tradisinya dalam terang iman Kristiani sehingga tidak bertentangan dengan ajaran resmi Gereja.