Gereja adalah Umat Allah yang berziarah. Gereja dalam penziarahannya itu diajak untuk memandang dunia dengan segala permasalahannya secara positif. Hal tersebut menunjukkan semangat Gereja yang ingin terus bertumbuh dalam iman secara kontekstual. Untuk itu, Gereja perlu menemukan identitasnya, jati dirinya. Gereja sebagai Umat Allah yang berziarah, dipanggil pada tugas dan perutusan yang sama, yaitu untuk berjalan menuju persatuan yang membebaskan, dalam Kerajaan Allah. Bima adalah juga seorang peziarah. Dia menjadi tokoh narasi yang memberikan makna dalam memandang kehidupan iman kita. Dari kisah Bima Suci, kita dapat menemukan nilai-nilai religiositas yang sangat kaya. Nilai-nilai tersebut dapat membantu kita dalam menghayati iman Kristiani. Nilai itu selaras dengan misi dan tugas Gereja. Kita tidak dapat menutup mata dengan produk budaya itu, karena Gereja dipanggil untuk senantiasa memperbarui diri. Gereja harus berani mendengar dan melihat kenyataan akan adanya nilai-nilai tersebut dan berdialog dengannya. Gereja juga harus berani menghadapi resiko dan tantangan serta identitasnya. Dari situ Gereja akan semakin mengalami pendewasaan iman. Iman yang dewasa dan utuh tidak statis, tetapi dinamis. Melalui dialog iman ini, Gereja akan semakin terbantu dalam mewartakan Injil. Dialog iman juga memiliki harapan agar iman Kristiani dapat mengakar dalam hidup umat, dan selaras dengan konteks hidupnya. Dialog iman ini semakin mempertegas hakikat Gereja, Hakikat Gereja mewujudkan dalam peziarahannya menuju Kerajaan Allah, seperti halnya hakikat Bima Suci terungkap dalam perjalanannya menuju Sang Kebenaran tertinggi. Persekutuan Gereja dengan Allah menganugerahkan keselamatan, dan dalam Bima Suci disebut dengan kamoksan (pembebasan). Kisah Bima Suci pada akhirnya menyumbangkan nilai-nilai kebaikan dalam mencapai kepenuhan ini.