Orang yang membaca buku ini pertama-tama akan melihat sebuah kahidupan yang jungkir balik dalam kapitalisme. Berisikan sebuah catatan cride coeur, rangkaian kekejaman yang dimanfaatkan dan disebarluaskan atas nama kebaikan oleh peradaban Barat. 'Kebaikan' ini yang ditutupi dengan topeng huanisme tidak lain kecuali keuntungan (profit). Akumulasi modal berbanding lurus dengan akumulasi kekerasan: perbudakan, rasisme, perang, kelaparan, kriminalitas terorganisir atau tidak yang tidak terungkap. Berapa banyak orang miskin dan kemudian mati yang dengan demikian malah menyebabkan orang lain menjadi kaya seperti Anda dan saya? Kita semua hidup di dalam sebuah sistem demokrasi liberal yang dengan mudah melupakan penderitaan mereka itu karena kita memiliki kebebasan untuk bersuara, berkumpul, beribadah dan semua hak individu yang tercantum di dalam konstitusi kita yang tertulis maupun yang tidak. Masyarakat Barat enggan untuk mengakui definisi Hak-hak Asasi Manusia yang lebih luas karena akan menyangkut kekerasan yang berimplikasi pada pelakunya (violator). Jika menerima definisi Hak-hak Asasi Manusia yang lebih luas kita harus mengidentifikasi dan mengadili orang yang melanggarnya. Dan ternyata kita telah menemukan pelakunya yang tiada lain adalah diri kita sendiri. Kekerasan bukanlah kecelakaan atau kesalahan tetapi seiring dengan dan bahkan diperlakukan demi keberlangsungan kapitalisme. Ada jalan keluar jika mau mengakui seluruh hak-hak asasi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dan melihat kekerasan bukan dari kacamata penguasa tapi dari kacamata korban kekerasan tersebut. Sehingga empati menjadi bagian inheren dari setiap aktivitas yang mengandaikan hubungan relasional; relasi yang berkeadilan dan berpijak pada penghormatan manusia bukan hubungan subordinatif.