Benarkah jalan sejarah tasawuf terjal dan penuh liku? Mengapa tasawuf dicinta atau dibenci? Mengapa Imam Ghazali disanjung, sedangkan Ibn Arabi dianggap murtad? Mengapa mistisisme diyakini sebagai 'benang merah' Syiah dan Ahlusunah, bahkan antar muslim dan non-muslim? Bisakah spiritualisme dikelola secara jujur, sehingga menjadi sebuah gerakan moral yang masif -bukan sekadar gaya hidup- demi menciptakan masyarakat yang sehat rohani dan jasmani. Mungkinkah tasawuf menjadi 'piranti lunak' bagi pembangunan masyarakat, bukan malah membuat manusia menjadi asosial dan sibuk mengharap surga hanya dengan bersemayam dalam mihrab dan memutar-mutar tasbih? Buku ini dapat dijadikan jendela untuk 'mengintip' dunia tasawuf dengan ragam pernik dan kontroversinya sepanjang sejarah, serta menguraikan tautannya dengan kebatinan di Indonesia.