Record Detail
Advanced SearchText
Kematian Sebagai Penyerahan Diri: Konsep Kematian dalam Budaya Jawa Dipandang dari dalam Perspektif Eskatologi Menurut Gereja Katolik
Kematian merupakan salah satu peristiwa universal yang akan dialami oleh setiap manusia. Hidup manusia di dunia hanyalah sekali. Kematian merupakan akhir dari peziarahan hidup manusia di dunia ini. Kematian selalu datang setiap saat. Melalui kematian, manusia tidak mampu mewujudkan apa yang telah ia impikan. Seluruh kekuatan manusia hilang dan dicabut darinya dalam kematian. Setiap manusia juga tidak tahu secara persis apa yang akan terjadi setelah kematian. Karena sifatnya tersebut, kematian selalu menimbulkan ketakutan dalam hidup setiap orang. Sikap manusia terhadap kematian berbeda satu sama lain. Hal ini nampak jelas saat peristiwa kematian terjadi. Perbedaan sikap tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat di mana ia tinggal. Setiap kebudayaan masyarakat selalu meyakini bahwa terdapat kehidupan kekal setelah kematian. Kebudayaan Jawa memiliki kekhasan tersendiri dalam ritus kematiannya. Nuansa perkabungan yang terasa adalah justru hening. Orang yang berduka menerima peristiwa tersebut dengan rela. Hal itu ditunjukkan melalui sikap nrima dan iklas. Tidak terdapat sama sekali isak tangis yang meraung-raung. Menangis secara berlebihan akan dilarang. Setelah pemakaman akan diadakan ritus slametan untuk mendoakan arwah yang telah meninggal. Kekhasan yang terdapat di dalam ritus kematian kebudayaan Jawa dilatarbelakangi oleh pandangan orang Jawa akan kehidupan. Hidup manusia Jawa pada dasarnya terarah pada usaha menjaga tatanan kosmos atau harmoni. Kehidupan batiniah atau dimensi alus lebih mendapat penekanan daripada kehidupan lahiriah. Sikap demikian menghantar orang Jawa untuk senantiasa mengolah hidupnya di dunia agar selamat sampai di alam baka atau alam kelanggengan. Intinya, seluruh hidup keseharian manusia Jawa selalu terarah pada usaha mencapai keselamatan, baik di dunia maupun di alam baka. Gereja Katolik mengajarkan bahwa kematian merupakan akhir dari peziarahan hidup manusia di dunia. Gereja meyakini bahwa setelah kematian terdapat kehidupan kekal. Gereja mengajak setiap umat beriman untuk mengolah hidupnya supaya kelak setelah kematian diberi ganjaran kehidupan kekal di surga. Kematian juga dipandang Gereja sebagai upah dari dosa. Karena dosa Adam, manusia pertama, maut menjalar ke dalam hidup manusia. Selanjutnya, Gereja meyakini bahwa peristiwa kematian orang Kristiani adalah peristiwa iman. Kematian orang Kristiani adalah turut ambil bagian dalam kematian Kristus. Gereja juga tidak melupakan pula kaum beriman yang telah meninggal. Melalui Ekaristi, Gereja mendoakan para arwah yang telah meninggal supaya mereka kelak mendapatkan ganjaran keselamatan dan penghapusan dosa dari Allah. Penulis melihat bahwa terdapat titik temu antara tradisi dan ritus kematian masyarakat Jawa dengan ajaran Gereja Katolik tentang eskatologi. Seluruh falsafah hidup orang Jawa selalu berorientasi pada usaha mencapai keselamatan baik di dunia ini maupun di alam baka. Slametan dalam budaya Jawa memiliki gagasan yang sama dengan sakramen Ekaristi, yaitu mendoakan semua arwah yang telah meninggal agar mereka dapat menerima keselamatan dan kehidupan kekal dari Allah.rn
Availability
16.01019 | 236 Pra k | Available |
Detail Information
Series Title |
-
|
---|---|
Call Number |
236 Pra k
|
Publisher | STFT Widya Sasana : Malang., 2018 |
Collation |
x + 117hlm: 21,5x28cm
|
Language |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
-
|
Classification |
236
|
Content Type |
-
|
Media Type |
-
|
---|---|
Carrier Type |
-
|
Edition |
-
|
Subject(s) | |
Specific Detail Info |
-
|
Statement of Responsibility |
-
|
Other version/related
No other version available