Hukum sudah menjadi bagian integral dalam tata hidup bersama dan mesti ada untuk mengatur setiap anggota masyarakat. Hal ini merupakan cetusan yang didasarkan pada keadaan hidup masyarakat yang penuh dengan kekacauan. Untuk itu, salah satu sistem yang harus diciptakan dan disepakati untuk mengatur tata hidup bersama ialah hukum. Itu berarti, hukum mesti harus ditaati sebagi sistem yang menjamin keharmonisan. Manusia selalu berada dalam kebersamaan. Artinya manusia selalu berada dalam relasi dengan yang lain. Karena itu, kehadirannya selalu mengandaikan kehadiran yang lain sebagai sesamanya manusia. Maka, dalam kebersamaan itu tidak dapat tidak, manusia harus mengatur dan menatanya, sehingga mereka dapat hidup dalam keadaan yang harmoni. Hal ini hendak menerangkan bahwa dalam kebersamaannya itu, manusia cenderung untuk tampil, bersikap dan bertingkah laku sebagai ancaman bagi sesamanya (homo homini lupus). Keadaan hidup yang demikian itu berdampak buruk terhadap manusia itu sendiri. Manusia tampil dengan berbagai tindakan yang merusak keharmonisan, seperti membunuh, meracuni, menganiaya, mendendam, memerkosa, memfitnah, mencuri, dsb yang sejenisnya. Karena itu, manusia berupaya untuk melakukan kesepakatan yang disebut sebagi hukum. Nah, hukum itulah yang dipakai untuk menjamin kesepakatan damai, dan sekaligus untuk mengatur tata hidup bersama. Keadaan hidup macam ini dialami juga olah orang Kei sebagai masyarakat. Karena itu, masyarakat Kei atas refleksinya terhadap keadaan dan praktik hidup yang kacau itu, menciptakan sistem hukum untuk mengatur tata hidup bersamanya dan menjamin keamanan dan keharmonisan. Sistem hukum ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman hidup dan wadah penyatu bagi masyarakat Kei. Penggunaan ini didasarkan pada isi dan maksud masing-masing hukum (Nevnev, Hanilit, dan Hawear Balwirin).