Persekutuan Allah Tritunggal merupakan sumber inspirasi bagi persekutuan yang didasarkan pada semangat cinta. Semangat cinta ini mencerminkan sebuah masyarakat yang ideal dan dapat menjadi sarana bagi manusia untuk menuju kepada pembebasan dari kemiskinan serta penindasan. Bagaimana ajaran tentang Trinitas dapat menjadi sebuah 'Kabar Gembira' bagi mereka yang miskin dan tertindas? Bagaimana menjelaskan persekutuan Trinitaris sebagai inspirasi atau model bagi masyarakat ideal? Leonardo Boff, seorang teolog, filsuf, dan penulis berkebangsaan Brasil, mengaitkan relasi persekutuan Tiga Pribadi Ilahi dengan istilah perikhoresis. Ia melihat bahwa dalam konteks sosial yang diwarnai dengan penjajahan dan penindasan kaum miskin, persekutuan Trinitaris dapat menjadi inspirasi kehidupan bermasyarakat yang ideal, di mana terjalin keadilan, kesetaraan, dan sikap toleransi terhadap perbedaan. Ia menegaskan bahwa persekutuan ini adalah Kabar Gembira yang membebaskan bagi setiap manusia, untuk Gereja, untuk masyarakat, secara khusus untuk kaum miskin dan tertindas, karena setiap manusia diajak untuk mengatasi segala egoisme serta menghayati panggilan persekutuan. Adalah bertentangan dengan semangat persekutuan Trinitas jikalau suatu masyarakat berlandaskan pada ketaksederajatan atau ketaksetaraan. Singkat kata, Boff tidak hanya menjelaskan persekutuan Trinitaris sebagai ajaran teologi saja, tetapi juga sebagai basis pembebasan sosial. Tulisan ini berbicara mengenai Persekutuan Trinitas sebagai basis pembebasan menurut Boff serta relevansinya untuk situasi Gereja dan masyarakat, secara khusus di Indonesia.