Image of Relasi Dialektis Parrhesia dan Kekuasaan di Era Post Truth dalam Terang Pemikiran Michel Foucault

Text

Relasi Dialektis Parrhesia dan Kekuasaan di Era Post Truth dalam Terang Pemikiran Michel Foucault



Kebenaran selalu aktual dan penting dalam hidup manusia. Manusia selalu bergulat dan bergelut dengan persoalan kebenaran. Kehendak akan kebenaran bertalian dengan kehendak untuk kekuasaan. Analisa Michel Foucault yang orisinal dan pendekatannya yang cemerlang tentang kekuasaan membalikkan anggapan umum akan kekuasaan bersifat makro, cenderung dilekatkan pada struktur negara, aparat dan undang-undang. Dengannya kekuasaa diidentikkan dengan kekerasan, resepsi, dominasi dan negatif. Sebaliknya Foucault menyasar dan menyisir wilayah mikro seperti sekolah, rumah sakit, asrama, barak militer dan keluarga. Dengannya, Foucault memperlihatkan bagaimana kuasa dipraktekkan untuk mendidik dan membentuk individu yang patuh dan disiplin. Bagi Foucault, praktek kuasa bersifat positif dan produktif dengan menggeser praktek hukuman kepada normalisasi dan disiplin seperti yang dipraktekkan dalam keluarga, sekolah, asrama dan rumah sakit. Dalam dunia modern-kontemporer, media berperan dalam praktek kuasa untuk membentuk kepatuhan individu dan massa. Dengan fungsi dan perannya, media dapat membentuk pikiran dan opini khalayak, mengarahkan dan memobilisasi massa seturut kepentingan yang dimainkan media. Pada titik ini, media kerapkali menjadi instrumen propaganda kekuasaan. Informasi yang dihimpun, disajikan dan disebarkan media dirongrong dan digerogoti oleh kepentingan dan nilai dari elit-elit adikuasa dan adikarya yang ada dibaliknya. Maraknya peredaran dan penyebaran fake news dalam wacana intelektual, publik, sosial dan politik saat ini merupakan bagian dari strategi kuasa dalam memenangkan pertarungan wacana dan membentuk kepatuhan khalayak untuk kepentingan kekuasaan. Proliferasi fake news yang ditunjang rezim kecepatan media dan internet pada gilirannya mengantar manusia kontemporer pada era post truth. Sebuah era di mana kebenaran obyektif tidak lagi relevan dan berpengaruh dalam membentuk opini publik. Sebaliknya sentimen emosi dan keyakinan pribadi sangat berpengaruh. Opini yang didukung oleh informasi yang dapat mengecoh emosi lebih diterima sebagai kebenaran daripada kebenaran obyektif. Sikap relativis dan skeptis kembali subur dalam wacana dan praktek. Praktek kuasa Foucault pada gilirannya terarah pada pembentukan diri, subyek yang etis dan moral (parrhesiast). Foucault mengajukan insan parrhesia sebagai subyek etis dan moral yang tidak tunduk pada kebenaran opini. Kebenaran parrhesiast diandaikan memiliki hubungan yang tegas antara apa yang dikatakan, kejujuran, keberanian dan keyakinan pribadi. Hal ini mengandaikan dan mensyaratkan relasi diri dengan kebenaran yang diperoleh melalui praktek dan latihan entah diagnosa diri, test diri dan pemeriksaan batin. Dengannya, insan parrhesia memiliki kewajiban untuk menyaring informasi yang diterima, memilah dan memilih informasi yang benar untuk dikatakan dan dibagikan. Dengan demikian, insan parrhesia selalu diandaikan berpegang teguh pada kebenaran obyektif dalam menjawab post truth dan melawan fake news. Pada gilirannya memiliki relasi dengan kebenaran dalam tugasnya untuk menceritakan kebenaran. Dengan kemampuan kritis dan disiplin diri, parrhesiast tidak terjebak dalam penyebaran fake news.


Availability

18.01020194 Njo rPerpustakaan STFTAvailable

Detail Information

Series Title
-
Call Number
194 Njo r
Publisher STFT Widya Sasana : Malang.,
Collation
xv + 235hlm: 21,5x28cm
Language
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Classification
194
Content Type
-
Media Type
-
Carrier Type
-
Edition
-
Subject(s)
Specific Detail Info
-
Statement of Responsibility

Other version/related

No other version available




Information


RECORD DETAIL


Back To PreviousXML DetailCite this