Saya, anak Dayak yang lahir di Pelaman (tempat orang bermalam untuk berladang) yang sekarang sudah menjadi Desa Lintang Pelaman, jauh dari keramaian kota. Untuk bersekolah sejak kelas satu sampai kelas tiga SR (Sekolah Rakyat) yang sekarang dikenal sebagai SD (Sekolah Dasar), saya harus berjalan kaki pulang pergi tidak kurang dari 3 jam. Berangkat subuh, pulang sore, membawa bekal, berjalan tanpa alas kaki dan kalau haus, cukup minum air di sungai yang dilalui yang masih jernih dan alami, sisa-sisa Firadus yang masih tertinggal. Sampai hari ini, Desa Lintang Pelaman masih tetap terpencil, tidak ada akses jalan raya dan juga listrik negara. Perjuangan untuk memperoleh pendidikan, sejak keluar dari Lintang Pelaman, ke Bodok dan melanjutkan bersekolah di Nyarumkop pada waktu itu bukanlah sesuatu yang mudah. Perjalanan hidup panggilan, sejak pendidikan di Seminari Menengah di Nyarumkop sampai di Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta serta studi di Maryknoll School of Theology USA, tidak bisa dikatakan mulus. Kehidupan sebagai imam bukan hanya melalui jalan yang penuh kerikil-kerikil tajam tetapi yang penuh tanjakan yang terjal diapit oleh jurang yang dalam. Bukan hanya satu kali, saya rasanya sudah berada di pinggir jurang yang dengan sekali sentuh saya sudah terjatuh. Sejak menjadi pastor muda, menjadi Administrator Apostolik dan Uskup Sintang, bahkan sebagai Uskup Agung Pontianak, tantangan demi tantangan, cobaan demi cobaan yang saya alami, seakan-akan tidak mau menjauh dari diri saya sehingga kadang kala saya merasa tidak kuasa lagi memikulnya. Banyak peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian, pergaulan dalam masyarakat, kepedulian terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang seharusnya membuahkan kebahagiaan, tetapi yang terjadi sebaliknya, yang tidak jarang membuat saya berkata dalam hati Inikah buahnya ketika aku mengatakan 'ya' kepada Tuhan yang memanggil saya?