Record Detail
Advanced SearchText
Tenunan dan Perempuan Lio-Ende dalam Perspektif Simone De Beauvior
Setiap manusia terlahir dengan martabat dan hak-hak yang sama. Karena itu bentuk kecurangan atau penyelewengan terhadap hak asasi manusia tidak dapat debenarkan. Namun, yang menjadi persoalan saat ini ialah masih banyak terjadi pelanggaran terhadap martabat kaum perempuan. Pelanggaran ini bukan hanya terjadi secara fisik seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual,tetapi juga mencakup berbagai segi kehidupan manusia (budaya, sosial, politik, ekonomi, dsb). Penindasan ini terjadi karena adanya paham yang mengagungkan laki-laki dan melihat serta memperlakukan perempuan sebagai golongan kelas dua yang harus tunduk untuk melayani laki-laki. Perempuan sebagai sosok yang lain. Sosok yang lain yang melekat dalam diri perempuan ini membuat mereka dijadikan sebagai objek dari laki-laki. Hal ini nampak dengan sangat jelas dalam institusi keluarga. Pihak perempuan hanya tinggal di rumah, mengurus anak dan keperluan yang dibutuhkan oleh sang suami. Mereka harus bersusah payah mengurus rumah dan segala hal yang ada di dalamnya. Peran perempuan dalam rumah ini sama sekali tidak diperhatikan oleh kaum laki-laki. Bagi mereka ketersediaan segala sesuatu di rumah sudah cukup. Perempuan hanya menjalankan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang perempuan seperti yang sudah digariskan oleh kebudayaan patriarkal. Ia tersiksa dan tak bebas untuk mewujudkan eksistensinya. Realitas penindasan ini memunculkan berbagai gerakan yang membela martabat kaum perempuan. Perempuan terus menerus melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari kungkungan budaya patriarki yang semakin merajalela. Hal ini penting agar keluhuran martabat dan hak asasi kaum perempuan dapat ditegakkan dan kesetaraan jender dapat terlaksana, seperti yang dilakukan oleh perempuan Lio-Ende melalui tenunan yang diciptakan, dikerjakan, dan dihasilkan oleh mereka. Tenunan sangat berarti bagi perempuan Lio-Ende karena di dalamnya tersirat berbagai makna yang melukiskan perjuangan mereka dalam mewujudkan eksistensinya sebagai seorang pribadi manusia sama seperti laki-laki. Masyarakat Lio-Ende sendiri mengenal 2 jenis tenunan yakni lawo yang hanya dikenakan oleh perempuan dan ragi yang dikenakan oleh laki-laki. Lawo yang identik dengan perempuan ini merupakan simbol dari tubuh perempuan. Sama seperti lawo yang hanya dapat dikenakan oleh perempuan itu sendiri, begitu pula dengan tubuhnya. Perempuan memiliki hak seutuhnya terhadap tubuhnya sendiri sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek dari laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki tidak bisa memperlakukan tubuh perempuan sesuka hatinya. Jadi, tenunan merupakan simbol kebebasan dan otonomi perempuan Lio-Ende dalam kehidupan sosial, baik dalam bertutur kata, bertindak maupun menentukan sendiri ke mana arah dan tujuan hidupnya.
Availability
14.007 | 194 Fur t | Available |
Detail Information
Series Title |
-
|
---|---|
Call Number |
194 Fur t
|
Publisher | STFT Widya Sasana : Malang., 2018 |
Collation |
xi + 97hlm: 21,5x28cm
|
Language |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
-
|
Classification |
194
|
Content Type |
-
|
Media Type |
-
|
---|---|
Carrier Type |
-
|
Edition |
-
|
Subject(s) | |
Specific Detail Info |
-
|
Statement of Responsibility |
-
|
Other version/related
No other version available