Seorang profesor kulit putih di Universitas Teknik Cape, Afrika Selatan dituduh melakukan pelecehan seksual dan memperkosa mahasiswanya. Dia menerima dakwaan itu, tapi menolak tuntutan minta maaf, karena menganggap hubungan dengan mahasiswa itu sebagai cinta, akibatnya dia dipecat tanpa hormat. Kehilangan jabatan dan pekerjaan, bermaksud tinggal sebentar dengan putrinya untuk menyelesaikan karya opera, dia malah mengalami kenyatan tragis; mereka dirampok orang kulit hitam, dan salah satu memperkosa putrinya sampai hamil. Peristiwa itu lebih dari sekedar coreng memalukan bagi dirinya, melainkan merupakan aib. Tapi bagaimana seseorang yang telah jatuh reputasinya, tak punya kuasa dan harta benda, dituduh memperkosa pula, bisa menuntut keadilan, atau setidak-tidaknya berani bicara untuk bisa menerima keadaan? Kondisi mengenaskan seseorang di tengah gejolak sosial yang rentan gangguan itu dikisahkan J.M. Coetzee tanpa rasa kasihan, bahkan nyaris tak menyisakan simpati.