Perkawinan merupakan suatu panggilan hidup. Mereka yang terpanggil pasti menerima rahmat dari Tuhan melalui sakramen perkawinan yang diperlukan sehingga akan mampu menjalani dengan kebahagiaan. Dari perkawinan inilah cinta kasih suami-istri dipersatukan dalam sakramen perkawinan suci. Tentu saja dalam perjalanan waktu cinta kasih yang telah tumbuh dan bersemi semenjak pacaran hingga memutuskan untuk menikah tidak selalu berjalan mulus. Ada saja tantangan baik dari dalam diri masing-masing pasangan atau tantangan dari luar. Hal ini akan dapat membawa perubahan yang tidak langsung pada kehidupan suami-istri untuk menjaga kesetiaan dan cinta kasih agar tidak mudah goyah. Kita tahu bahwa keluarga merupakan bagian dari komunitas cinta kasih, hidup dan keselamatan yang boleh dialami oleh setiap orang. Suami-istri kristiani merupakan bagian dari kaum awam kristiani, tentu saja tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawabnya kepada Gereja. Dalam hal ini, penulis hendak memaparkan perwujudan cinta kasih itu tidak hanya dalam lingkup keluarga saja, entah itu keluarga kecil atau keluarga besar. Selain tanggungjawab di keluarga, bagaimana keterlibatan dan ambil bagian suami-istri kristiani sebagai orang tua, yakni sebagai pewarta iman dan pendidik pertama bagi anak-anak. Suami-istri kristiani juga hendaknya tidak hanya terlibat dalam keluarga sendiri, melainkan juga terlibat dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Penulis melihat bahwa yang terjadi di lapangan, penghayatan cinta kasih suami-istri kristiani yang telah ditanamkan dalam sakramen perkawinan menjadi suatu hal yang biasa dan tidak memiliki efek keluar dari pribadi masing-masing. Suami istri menganggap bahwa setelah menerima sakramen perkawinan tugas mereka sebatas di keluarga saja. Mereka mengabaikan tugas dan tanggungjawab di luar diri mereka, misalnya saja keterlibatan mereka di lingkungan atau wilayah dan paroki sangat kurang, apalagi keterlibatan di masyarakat.