Berbicara mengenai cinta selalu memiliki hubungan yang erat antara manusia dengan manusia lainnya. Dalam relasi cinta antarmanusia seringkali menimbulkan persoalan, dimana eksistensi cinta disalahartikan. Manusia cenderung melihat cinta sebagai sesuatu yang hanya menjadi miliknya sendiri. Manusia menjadi egois. Manusia mengorbankan manusia lain demi untuk kepentingannya sendiri. Manusia menjadi cinta diri dan melupakan yang lain. Adanya kesadaran baru bahwa cinta itu harus mengangkat harkat dan martabat manusia. Cinta tidak boleh mengorbankan manusia lain. Cinta harus membuat orang bahagia meskipun dalam penderitaan. Cinta membuat hidup dalam penderitaan menjadi manis. Gagasan cinta inilah yang digagas oleh Dostoevsky. Dia peduli dengan kehidupan manusia. Dia ingin manusia hidup dalam cinta yang sesungguhnya, yakni cinta yang membuat manusia menjadi saudara satu sama lain. Dalam hal ini Dostoevky berbeda dari budaya barat dan pandangan Chernyshevsky yang melihat manusia hanya sebagai objek belaka. Sejalan dengan cinta yang digagasnya, Dostoevsky melihat bahwa untuk mengembangkan dan menjalakan cinta, manusia harus mencari makna hidupnya. Penemuan akan makna hidup bisa diperoleh melalui relasi dengan orang lain. Dalam berelasi dengan orang lain manusia menjadi saudara. Rasa persaudaraan ini muncul karena adanya relasi cinta. Cinta yang dibangun oleh Dostoevsky adalah cinta yang mengikuti cinta Kristus. Dia melihat cinta Kristus sebagai cinta yang membebaskan manusia dari kungkungan hidup dan cinta yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Selanjutnya, eksistensi cinta ini muncul dan semakin menguat dalam diri Alyosha. Alyosha adalah orang yang menjalankan cinta dengan sempurna. Alyosha membuat hidup dalam penderitaan menjadi manis. Alyosha menjalankan cinta yang dibawa oleh Kristus.