Jurgen Habermas (filsuf) dan Kardinal Joseph Ratzinger (teolog) bertemu di Munchen, Jerman pada tanggal 19 Januari 2004 dalam sebuah diskusi dengan tema The Pre-political Moral Foundations of a Free State (Dasar Moral Pra-Politis Sebuah Negara Liberal). Mereka membicarakan agama dan tata kelola masyarakat modern. Mereka hendak menjawab persoalan; Apa yang mempersatukan societas? Mereka membuka jalan bagi agama untuk menunjukkan peran publiknya dalam negara. Negara modern berpijak pada solidaritas sebagai landasan politis yang secara spontan sebenarnya terbentuk justru pada lembaga agama. Solidaritas pada kenyataannya secara konstan dibina oleh agama-agama. Filsafat dan ilmu pengetahuan bahkan tidak memiliki kekuatan untuk memotivasi solidaritas. Pembentukan negara jelas memerlukan solidaritas yang terbentuk dari sumber-sumber pra-politis. Dialog Habermas dan Ratzinger adalah dialog peradaban. Membicarakan perdebatan peran agama dalam negara adalah persoalan yang selalu relevan. Tulisan ini adalah studi terhadap pengalaman Eropa dalam menuntaskan persoalan peran agama dalam negara. Peran agama yang terbesar dalam negara adalah sebagai aktor integrasi sosial. Namun dalam pengalaman sejarah bangsa Indonesia agama berperan seolah seperti pisau bermata dua. Agama di satu sisi dapat menjadi aktor integrasi sosial sekaligus di sisi lain menciptakan konflik sosial. Inilah paradoks peran agama yang menjadi latar belakang keprihatinan Dialog Munchen. Tentu saja membahas paradoks ini sangat relevan dengan pergumulan Bangsa Indonesia dan Gereja Katolik Indonesia khususnya.