Kemajuan dan perkembangan dunia menyisakan bencana bagi lingkungan hidup. Dalam perspektif ekofeminisme transformatif, kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh pemujaan prinsip maskulinitas (budaya patriarki) yang berciri dominasi, eksploitasi, peminggiran (marginalisasi), penindasan dan persaingan. Maskulinitas telah menjadi prinsip hegemonik yang meminggirkan perempuan sekaligus menghancurkan alam. Daya destruktif maskulinitas menjelma dalam aneka ideologi modern, seperti reduksionisme, developmentalisme, indutrialisme dan kapitalisme. Berbagai manifestasi maskulinitas tersebut tidak menampakkan kepedulian terhadap kehidupan alam. Alam semata-mata dipandang sebagai sumber daya produksi yang bisa dimonopoli dan bebas dieksploitasi demi penumpukan keuntungan. Bertolak dari kesadaran tersebut, Vandana Shiva menggagas pandangan dan pola relasi yang berlandaskan kesetaraan, kesalingtergantungan dan kepedulian antar komponen alam. Dia memulihkan kembali prinsip feminitas dan menghidupkan perspektif subsistensi. Prinsip feminitas dalam perpaduannya dengan perspektif subsistensi, menjadi prinsip pro kehidupan, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan penjamin pola tindakan tanpa kekerasan. Manusia perlu mengembangkan nilai-nilai feminitas dalam dirinya supaya terbentuk sikap peduli dan solider dengan alam dan sesama. Setiap orang juga harus berani menerapkan perspektif subsistensi agar terbina sikap hormat terhadap siklus ekologis, mampu bekerja sama dengan alam dan terjamin kelangsungan hidup di bumi.