Ateisme dipahami sebagai penolakan terhadap eksistensi Allah. Penolakan ini terjadi sepanjang perjalanan sejarah. Ada sebagian menolak Allah dalam ranah pragmatis-praktis, akan tetapi ada juga menolak Allah dalam ranah teoretis-logis. Dalam skripsi ini kami mengangkat tema: 'Ateisme Logis Sartre'. Radikalitas Sartre dalam konsepnya tentang Allah yakni ia melihat Allah sebagai ketakmungkinan. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang ateis yang menolak Allah sebagai suatu konsekuensi logis dari pemikirannya. Konsekuensi logis berarti bahwa penolakan terhadap Allah adalah suatu keharusan. Keharusan itu ia lihat dari cara berada 'ada' di dunia: 'ada tak-sadar' sebagai benda-benda dan 'ada sadar' sebagai manusia, sedangkan 'ada tak-sadar' sekaligus 'ada sadar' seharusnya sebagai Allah. Yang dimaksudkan Sartre sebagai 'seharusnya' ialah 'ada' demikian tidak mungkin ada, jika dilihat dari sudut refleksi filosofis, karena di dalamnya hanya terdapat pertentangan yang tak terdamaikan, sehingga ia harus ditolak. Jika Allah sudah ditolak, maka manusia akan menemukan dirinya yang otentik dan bebas secara absolut. Akan tetapi, refleksio filosofis menunjukkan bahwa pendasaran logis tidak memadai untuk memahami keseluruhan realitas secara obyektif, melainkan mereduksi segala sesuatu sebagai realitas objek-objek semata yang menafikan pengakuan manusia akan realitas transenden. Sebab akal budi manusia mampu menelusuri sampai batas tejauh dari kemampuannya, akan tetapi tak mampu menembus keterbatasan itu. Keterbatasan itu mengafirmasi realitas tak-terjangkau akal budi manusia. Justru ke-takterjangkau-an itu menanamkan dalam diri manusia kesadaran akan keberadaan Allah.