Record Detail
Advanced SearchText
Memahami Sakralitas Wae Teku dalam Budaya Masyarakat Manggarai dalam Terang Pemikiran Mircea Eliade
Dalam Budaya Orang Manggarai menampilkan enam pilar kebudayaan. Salah satu dari pilar kebudayaan itu adalah wae teku merupakan tata ruang budaya yang sakral, yang berhubungan dengan kekuatan adikodrati. Eksistensi realitas adikodrati mempunyai pengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat dalam suatu kebudayaan. Fenomena keterlibatan roh tersebut mendorong manusia untuk berjumpa dengannya. Namun karena, keberadaan roh tersebut bersifat transenden maka sulit bagi mereka untuk menjumpainya secara langsung. Karena itu, mereka menggunakan sarana simbolis untuk berrelasi lewat komunikasi ritual yang dilangsungkan dalam suatu upacara adat. Mori Kraeng dan roh-roh alam merupakan roh supranatural Orang Manggarai. Roh-roh tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan mereka secara khusus dalam hubungan dengan alam. Untuk itu, Orang Manggarai menciptakan sebuah relasi yang harmonis denganNya. Namun, karena keberadaannya yang transenden, Orang Manggarai sulit untuk berkomunikasi secara langsung. Oleh karena itu, mereka menempatkan wae teku tidak jauh dari perkampungan. Wae teku merupakan sarana yang dipilih oleh Orang Manggarai untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan roh-roh tersebut. Dalam hal ini, wae teku dipandang sebagai simbol religius yang menghadirkan Yang Kudus. Konsekuensinya wae teku tidak hanya sumber informasi tetapi menghadirkan, mengaktualkan yang transenden ke hadapan Orang Manggarai yang ingin berkomunikasi dengan Yang Kudus. Komunikasi dengan roh-roh tersebut berlangsung dalam suatu upacara adat tertentu. Dalam upacara adat itu, dilangsungkan kurban persembahan di Wae Teku sebagai tanda penerimaan sekaligus moment bagi Orang Manggarai untuk mengucapkan doa adat serta menyampaikan permohonan yang menjadi intensi dari seluruh rangkaian acara adat yang dilangsungkan. Eliade berpendapat bahwa sakralitas suatu benda dipahami dalam peristiwa hierofani. Hierofani merupakan peristiwa Yang Kudus menyatakan atau mewujudkan dirinya ke suatu realitas profan yang kemudian memberi warna sakral pada benda tersebut. Wae Teku merupakan salah satu benda sakral karena mengalami hierofani Mori Kraeng dan roh alam (dae-rat wae) mendiami tempat r-tersebut serta roh yang diundang ke tempat tersebut. Dewasa ini, Orang Manggarai pada umumnya telah terjebak dalam pola pikir modern. Dalam pola pikir itu ada kecenderungan untuk merelatifkan nilai yang terkandung dalam wae teku tersebut. Dalam hal ini, pola pikir Kantian ditunujukkan dimana orang mengikuti ritual adat karena kesadaran akan nilai yang ditampilkan oleh ritus tersebut serta arti wae teku bagi budayanya.
Availability
13.023 | 959.86 Lap m | Perpustakaan STFT | Available |
Detail Information
Series Title |
-
|
---|---|
Call Number |
959.86 Lap m
|
Publisher | STFT Widya Sasana : Malang., 2018 |
Collation |
x + 74hlm: 21,5x28cm
|
Language |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
-
|
Classification |
959.86
|
Content Type |
-
|
Media Type |
-
|
---|---|
Carrier Type |
-
|
Edition |
-
|
Subject(s) | |
Specific Detail Info |
-
|
Statement of Responsibility |
-
|
Other version/related
No other version available