Menjadi Gereja yang berbelas kasih bagi Paus Fransiskus berarti
menjadikan orang miskin dan menderita pusat perhatian Gereja, dan Gereja
melakukan tindakan belas kasih dan murah hati yang nyata bagi mereka.1
Di antara orang miskin dan menderita yang ada begitu banyak di dalam
Gereja dan masyarakat, Paus Fransiskus memperhatikan secara khusus
penderitaan tidak sedikit umat Katolik yang ingin mencari kepastian dan
kejelasan yang menenteramkan hati nurani mereka, namun sering kali berada
jauh dari struktur yuridis Gereja, karena jarak fisik dan moral yang jauh dan
menjauhkan mereka. Orang miskin di pinggiran Gereja itu adalah pasangan
suami-istri Katolik yang bercerai, di mana perkawinannya terindikasi cacat
hukum atau tidak sah pada awal, namun tidak dapat menikmati pelayanan
hukum dari pihak Gereja untuk memastikan ketidaksahan perkawinan
mereka.2 Karena itu, Paus menginginkan Gereja tampil dan bertindak sebagai
“lapangan rumah sakit” (field hospital) bagi umat yang mengalami “luka
1 Tindakan belas-kasih fisik (opera misericordiae corporalis) berupa memberi makan kepada
yang kelaparan, air minum kepada yang kehausan, pakaian kepada yang telanjang, tumpangan
kepada orang asing, merawat yang sakit, mengunjungi orang yang dipenjara, menguburkan
orang mati. Sedangkan tindakan belas-kasih rohani (opera misericordiae spiritualis) berupa
memberi nasihat kepada orang yang diliputi keraguan, mengajar orang-orang yang tidak
berpengetahuan, memberi peringatan kepada para pendosa, menghibur yang berkesusahan,
mengampuni kesalahan, menanggung dengan kesabaran orang-orang yang melakukan
pelecehan, berdoa kepada Allah bagi orang yang hidup dan yang mati (Bulla Misericordiae
vultus, no. 15).
2 Dalam Relatio post Disceptationem dari Sinode para Uskup tahun 2014 muncul istilah caring
for wounded families, yakni pasangan suami-istri yang sudah berpisah, atau sudah bercerai
namun belum menikah lagi, atau bercerai dan sudah menikah lagi. Lih. L’Osservatore Romano,
weekly in english, 17 Oktober 2014, hlm. 14-15.
356 Seri Filsafat & Teologi, Vol. 25 No. Seri 24, 2015
khusus” semacam itu, dengan memberikan intensive care dalam bentuk
proses persidangan nulitas yang lebih cepat dan lebih murah.3
Untuk itu, pada tanggal 8 September 2015 yang lalu telah dipublikasikan
Litt. Ap. M.P. Mitis iudex Dominus Iesus (selanjutnya disingkat MI) untuk
Gereja Katolik Ritus Latin, dan Litt. Ap. M.P. Mitis et misericors Iesus
untuk Gereja Katolik Ritus Timur.4 Kedua dokumen motu proprio itu
dimaksudkan untuk mereformasi hukum kanonik mengenai persidangan
nulitas perkawinan di tribunal-tribunal gerejawi.